Aku duduk di sebuah pojok kafe dengan segelas Muscat dalam suasana malam yang dingin mencari hangat. Kafe ini berlantai empat. Di tingkat kedua di lantai atas suasananya memang terbuka. Tidak ada jendela, tidak ada kaca yang membatasi ruangan dengan malam di luar sana. Aku rasa ruangan ini memang didesain sedemikian rupa untuk para pecandu nikotin yang tak membutuhkan pembatas udara.
Lingkar syal kurekatkan erat mengelilingi leher. Udara malam ini memang dingin, walau sweater PUMA ini sudah rapat membungkus tubuh dengan model turtle neck aku tetap membutuhkan syal penambah hangat. Maklum, udara dingin memang tak pernah menjadi sahabat. Meskipun bukan sahabat atau teman dekat, aku tak peduli. Aku hanya ingin menghilangkan penat dan menghibur diri. Dingin ini tak bisa menghalangi keinginanku untuk menikmati musik-musik favorit yang terlantun lembut menjadi rileks penenang suasana hati.
Duduk menikmati suasana dalam rintik hujan memang hal yang begitu aku nikmati. Sendiri pun tak masalah. Aku suka sendiri. Aku suka malam. Aku suka hujan yang tak terlalu hujan. Aku suka pojokan. Aku suka iringan musik jazz yang dimainkan merangsang indra pendengaran khusus di Rabu malam, di sebuah kafe yang sudah menjadi langganan.
Dari sudut tempatku duduk, mataku bebas membauri suasana memperhatikan siapa saja, yang datang, yang pergi, yang bertemu muka, yang dimabuk asmara, yang berbicara, yang tertawa-tawa, atau yang sekedar menikmati musik dalam suasana, seperti aku. Dari sudut ini, mataku juga dapat dengan jelas memperhatikan seorang lelaki yang duduk sendiri dengan segelas kopi dan laptop yang menemani. Tubuhnya tinggi dengan usia yang terbilang cukup mapan bagi lelaki. Penampilannya klenis dan sangat rapi. Sebentar-sebentar ia melirik arloji yang ada di pergelangan tangan kiri, seperti seseorang yang punya janji. Sebentar-sebentar ia memperhatikan sekelilingnya, mengamati orang-orang di dalam ruangan. Sebentar-sebentar ia kembali memperhatikan layar LCD lalu sibuk sendiri. Beberapa menit lagi, ia akan kembali melirik arloji, memperhatikan sekeliling, kembali mengalihkan tatapan pada layar LCD, dan berakhir resah sendiri. Ia pasti sedang mempunyai janji. Mungkin dengan seorang klien yang berkaitan dengan pekerjaan. Tapi, bisa saja bukan. Penampilannya begitu tidak formal dengan kaos tenis berkerah dan celana jeans. Aku rasa laptop itu dibawa khusus menemaninya membunuh waktu sambil browsing di dunia maya, menunggu seseorang yang belum juga datang.
Tatapanku beralih, kini memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di jalan di luar sana. Musik mulai berganti. Aku mengenal betul musik yang baru saja dimainkan beberapa ketukan. Dream A Little Dream. Hanya iringan instrumen tanpa suara. Aku begitu menggilai musik ini. Apalagi bila terlantun lembut dalam lagu oleh suara sexy seorang Laura Fygi.
Star shining bright above you, night breezes seem to whisper, I love you.
Birds singing in the sycamore tree, dream a little dream of me.’
Say nighty-night and kiss me.
Just hold me tight and tell me you’ll miss me.
While i’m alone and blue as can be, dream a little dream of me.
Malam ini memang sepi. Tapi, tak ada bintang di atas sana, karena mendung ditutupi awan yang suram dan dilewati bersama hujan. Hujan rintik-rintik. Hanya angin yang bertiup semilir mempermainkan suasana, namun tak ada bisikan yang menyatakan cinta. Tidak ada juga burung yang bernyanyi karena ini sudah malam. Dan di kota tak ada burung yang bernyanyi. Apalagi di malam hari. Tidak ada ucapan selamat malam. Tidak ada kecupan. Tidak ada pelukan erat dan tidak ada uraian yang mengatakan kerinduan. Dan aku memang sendiri dalam sadar yang nyata berangan berimajinasi menembus mimpi. Mimpiku sendiri.
Aku menenggak Muscat dalam sebuah gelas kaca, seakan ingin berbagi dalam rasa. Tak ada manusia, tak masalah bagiku hanya berteman anggur saja. Jauh di tubuhku, di dalam sana, aku ingin mereka tahu segala konflik perasaanku, rinduku, sepi sendiri tempatku berlari dalam lantunan musik yang menemani malam ini.
“Hai. Sendiri aja?”
“Oh, hai. Iya.”
“Apa kabar? Boleh aku ikut duduk di sini?”
“Cukup baik. Silahkan.”
“Serius tidak akan menggangu?”
“Sama sekali tidak.”
Entah senang atau kesal sendiri, aku tidak mengerti. Perasaanku memang terusik saat kesendirian yang tengah kunikmati terganggu dengan kedatangan "Wanita". Tetapi "Wanita" tampan, seorang kenalan yang wajahnya mirip dewa Yunani ini sungguh begitu sayang untuk dilewati. Dewa Yunani? Aku tertawa geli memikirkan julukan yang sedari dulu kuberi untuk "Wanita" ini. Aku ini seperti seorang yang sok mengenal dewa. Dewa Yunani, pula. Seperti orang yang pernah bertemu saja. Apa pernah? Tidak. Tapi sungguh aku benar-benar tak tahu bagaimana lagi menggambarkan keindahan "Wanita" ini. Ia tampan bahkan melebihi tampan. Setahuku bangsa Yunani adalah ras yang memiliki keindahan hampir sempurna. Jadi begitulah ia. Hampir sempurna. Bahkan kurasa mendekati sempurna untuk ukuran fisik manusia. Mungkin seperti dewa. Pencitraan bangsa mereka yang tak pernah kupercaya ada. Tapi, sudahlah. Itu pencitraanku saja. Yang berdiri di depanku saat ini manusia. Dan ia nyata.
Ia berbagi minuman yang sama denganku. Matanya lekat menatap. Seakan mencoba menangkap dua bola mataku dalam gelap, sesaat setelah pelayan pergi mengantarkan segelas sloki.
“Kenapa ada seorang gadis secantik ini menikmati sepi di pojok ruangan sendiri?”
“Gimme a break, Ren. Don’t start to flirt. Your flattering cut no ice with me.”
“Ok… ok. Tanpa motif merayu deh. Kenapa sendiri?”
“Cuma ingin sendiri. Apa melanggar hukum kalau seseorang ingin sendiri.”
“Tidak sama sekali. Kalau begitu kita berjodoh malam ini. Seorang "Wanita" yang sendiri, bertemu dengan seorang wanita yang juga sedang sendiri. Sempurna sekali.”
Musik. Muscat. Dia. Aku. Cerita.
Menjadi seorang discjockey di sebuah Cafe memang membuat ia memiliki cerita yang lebih dari sekedar biasa. Waktu pertama kali bertemu dengannya di pagi buta ketika pulang berpeluh keringat setelah berjingkrak ia sudah menjadi orang yang enak diajak berbicara, dan senang berbagi cerita. Aku selalu suka cerita. Apalagi cerita tak biasa oleh orang yang dipenuhi pengalaman-pengalaman gila. Bagiku pengalaman-pengalaman hidup itu membuat seseorang terkesan matang dan sexy. Apalagi "Wanita" ini. "Wanita" yang tengah duduk di hadapanku berbagi anggur. Sex appeal-nya semakin menonjol kuat, tersirat, bukan dari bentuk tubuh atau wajah yang memang sudah seperti itu. Tapi menyentuh syaraf perangsang melalui kata-kata yang terurai lewat mata yang bercerita, ekspresi muka yang penuh makna, dan suara yang begitu menggoda. She is just that beautiful. Shit! It makes me a fool. Damn!
Menit-menit selanjutnya dilewati bercengkrama dengan "Wanita" ini. Berbagi cerita. Berhihi haha. Lalu tipsy bersama. Tapi, ada sedikit gejolak marah dalam hati. Aku datang kemari untuk sendiri. Menikmati sepi. Bukannya mencari "Wanita". Berhaha hihi. Lalu tipsy. Ada apa dengan diriku ini? Ah, masa bodoh dengan sendiri. Ayolah bertoleransi untuk malam ini. "Wanita" ini benar-benar begitu indah sekali. Sungguh sayang kalau harus disuruh pergi.
Tangan kami bersentuhan saat sedang tertawa-tawa. Entah ini disengaja atau tidak disengaja. Aku pilih untuk tak peduli saja. Toh, aku juga menikmatinya. Mukaku memerah. Begitu juga mukanya. Tak mau juga paham apa karena efek anggur merah atau karena reflek rangsangan indra perasa. Pikiran mulai gila. Ia mulai menggenggam tangan itu seakan ingin melempar sinyal pertanda mengisyaratku. Apa ini karena terbawa perasaan yang mulai mabuk? Ia mulai menghanyutkan. Memancingku untuk memiliki sesuatu lebih dari sekedar sebuah genggaman tangan. Bangsat kau "Wanita"! Aku kemari untuk mencari sendiri. Kau malah memancing birahi yang tak mampu kuhindari.
“Aku boleh tahu kesukaan kamu?”
“Kesukaanku? Hm… Mengoleksi lingerie dan bercinta dengan sepi. Di kamar sendiri dengan mainan MP4q"
“Bercinta dengan sepi? Maksud kamu, masturbasi?”
“I’m not that sick and crazy! Hell, no! Aku menyukai kesendirian. Aku mencinta kesepian. Teman dan pasangan itu seperti kotoran manusia. Hangat tapi sesaat. Tidak dengan kesendirian dan kesepian yang selalu datang di antara celah keputusasaan. Kenapa aku tidak mencintai kesendirian saja kalau demikian?”
“Jadi itu alasan kamu sendirian sekarang? Ok. Aku mengerti.”
“Kamu sendiri, kamu bertanya pasti juga ingin ditanya, iya kan?”
“Aku gila bercinta.”
“Wuuuu…”
“Aku serius. Terkadang aku berpikir itu penyakit.”
“Bercinta kamu bilang penyakit?!”
“Penyakit, karena aku mampu bercinta hingga sepuluh kali dalam sehari.”
“Wow! Tongue tied.”
“Kadang aku ingin mengikuti terapi untuk berhenti, karena aku sungguh susah bertemu dengan orang yang benar-benar tepat di hati.”
Aku tersenyum miris. Mataku melempar pandangan ke arah lain saat ia memandangiku lekat, setelah ceritanya lewat. Mataku justru beradu dengan lelaki yang masih duduk sendiri di depan laptop yang kuperhatikan diawal tadi. Pandangan yang kuhindari di depan mataku malah menangkap mata lelaki lain yang seakan sedari tadi memperhatikan tanpa ragu membuang pandangan. Hanya beberapa detik. Seorang gadis, yang sepertinya ia tunggu sedari tadi sudah datang menghampiri. Gadis itu, usianya mungkin masih sebaya denganku. Wanita muda yang terperangkap di usia setengah dewasa, di antara umur dua puluh hingga dua puluh lima. Belum bisa dikatakan wanita seutuhnya, karena masih wanita setengah wanita. Dimana hidup masih dimulai dengan pengalaman yang penuh dengan cerita yang pelan-pelan dipupuk hingga waktu menjadi wanita saat sepenuhnya mapan di usia yang benar-benar dewasa. Mapan dengan pengalaman. Mapan dengan penghasilan. Mapan dengan kegilaan sehingga cukup mampu untuk tidak menjadi gila benaran.
Wanita muda itu bertubuh sintal. Rambutnya panjang hingga ke pinggang. Hitam, tergerai lurus, manipulasi bonding salon kecantikan. Kulitnya putih mulus. Tubuhnya berisi dan payudaranya pun benar-benar berisi. Lelaki itu, meraih pinggulnya sesaat ketika wanita itu berdiri di dekatnya. Mereka sempat bercakap-cakap sebelum wanita itu duduk. Aku tak tahu kenapa, tapi aku merasa perempuan sintal itu tidak pantas bersanding dengan eksekutif muda setampan dan semapan ia. Bukan karena perempuan itu masih terlalu muda dan terpaut usia yang cukup berbeda, tapi karena mereka benar-benar ’sungguh’ tak cocok saja. Perempuan yang pantas bersanding dengannya adalah wanita sesungguhnya usia dewasa. Seperti yang kukatakan. Wanita yang sudah mapan pengalaman, mapan penghasilan, mapan kegilaan, sehingga tidak menjadi bahan pembodohan. Dan, perempuan sintal itu sama sekali bukan kriteria wanita sungguhan seperti yang aku sebutkan.
Aku pikir, lelaki itu menunggu seseorang yang berkaki belalang, mengenakan sweater Banana Republic press body, dengan belt besar variasi di pinggang dipadupadankan dengan legging casual. Tapi, yang datang ternyata wanita bertubuh sintal dengan kaki gempal, tubuh berisi, payudara berisi, dibalut pakaian yang sama sekali bukan model dari koleksi terkenal, bahkan perpaduan yang sungguh terkesan asal. Ia mengenakan atasan yang terbilang sangat ketat dengan kerah V yang menonjolkan belahan dada menantang, dengan celana jins berwarna hitam yang tak kalah ketatnya. Ia terkesan murahan, mungkin saja wanita panggilan. Ia berbicara dengan ekspresi genit yang seakan dibuat se-sexy mungkin agar terlihat menggoda. Namun kurasa tolol saja.
Mungkin mereka akan kencan di sebuah hotel sepulang dari sini. Mungkin mereka bukan pasangan sejati. Apalagi suami istri. Jelas wanita itu tidak sama sekali terlihat seperti seorang istri. Dan, aku rasa lelaki itu cukup punya akal sehat yang masih berfungsi untuk tidak menjadikan wanita seperti ini sebagai istri. Tatapan tak berisi, yang seakan ia buat sexy bisa menjatuhkan harga diri laki-laki ini. Mana mungkin seorang eksekutif muda ingin beristri dengan wanita yang tatapannya seperti pelacur yang mencari mangsa, yang setiap saat suaranya keluar seperti mendesah. Kecuali kalau si lelaki tak punya logika. Tapi, aku percaya, wanita itu hanya selingan saja. Aku rasa lelaki itu hanya mencari selingan selain istri. Dan sepertinya wanita itu tak akan pernah protes kalau hanya dipakai dua-tiga kali lalu ditinggal pergi. Toh, ia juga hanya menjual diri. Mencari pria-pria yang tengah bosan dengan istri untuk diladeni.
Mereka beranjak. Lelaki itu meninggalkan sejumlah uang di bawah cangkir kopi, memeluk wanita itu dan pergi.
Aku tak sadar discjockey ini masih memperhatikanku. Tatapannya tak berubah dari sejak tadi kualihkan pandangan. Apa ia sedang mencoba membaca pikiran atau ia sedang berusaha kembali menggoda dengan mata. Jari jemarinya memainkan punggung tanganku, dengan gerakan seakan butuh perhatian.
“Apa kamu memang sendirian saat ini?”
“Kenapa memangnya?”
“Aku hanya ingin tahu celah kekosonganmu?”
“Maksud kamu?”
“Aku suka kamu.”
Bajingan. Aku menarik tanganku yang sedari tadi dimainkannya mencari perhatian. Menuangkan anggur ke dalam gelasku. Menenggaknya. Menuangkannya lagi. Menenggaknya. Dua-tiga kali. Memaki. Munafik kau "Wanita"! Aku ingin berlari, menjauhi "Wanita" itu. Sekarang kau, dewa Yunani, ingin mendekati diri. Kalau begini aku tak kan bisa berhenti memaki. Tatapannya benar-benar menggoda angan imajinasi, menawarkan diri, mengisi sepi. Tatapan lekat, genggaman erat, nafsu bangsat. Bastard! Rasa ini menjustifikasi keinginan pribadi. Aku memang butuh "Wanita", karena "Wanita"ku tak pernah mau peduli. Ia sibuk sendiri. Tak mau bertanya kemana aku pergi? Dengan siapa aku malam ini? Apa yang tengah aku lakukan saat ini? Aq Tipsy.
xxxxxx
Hangat itu bukan hangat suasana kafe. Tapi pelukan yang menyatu. Suara itu bukan suara lagu. Tapi suara akibat reaksi tubuh. Lembut itu bukan lembut lantunan musik yang mengalun. Tapi bibir yang mengulum. Mata itu bukan lagi mata yang bercerita. Tapi mata yang tertutup terbawa suasana. Peluk itu peluk yang sudah lama kucari. Cium itu cium yang sudah lama kumimpi, dalam sepi sendiri tempatku berlari. Ciuman jatuh ke hati. Tapi bukan hati sesungguhnya hati. Hati yang katanya ada di sebelah dada kiri. Sungguh aku tak mau peduli. Perasaan ini benar-benar ingin aku ingkari, terhadap "Wanita" yang sesungguhnya tidak aku miliki. Persetan dengan pasangan sejati! Toh, ia juga tak mau peduli. Dia tak pernah mau tahu lagi. Brengseknya "Wanita". Membuatku seakan tak bisa berhenti untuk tidak memaki. Tapi dengan siapa aku malam ini? Bukankah aku juga bersama manusia yang berjenis kelamin "Wanita"? Parahnya justru "Wanita" yang belum sepenuhnya aku kenali, yang tengah bergerilya mengenali kulitku dalam inci di balik badan yang masih terbalut pakaian. Pakaian berantakan. Pikiran tak karu-karuan. Aku penuh kekacauan.
Apa ini yang sedari tadi kucari? Apa memang aku mencari "Wanita"? Bukannya aku datang untuk mencari sepi dan menikmati sendiri? Aku seperti wanita yang kukata-katai tadi. Wanita muda yang jual diri, dengan lelaki yang mencari selingan selain istri. Apa aku mencari selingan selain pasangan yang tak punya perasaan? Biarpun tak punya perasaan dia masih pasangan. Dan aku tidak mencari pasangan lain untuk selingan. Aku sungguh datang untuk mencari sepi dalam sendiri yang ingin kunikmati. Lagi-lagi bukan "Wanita" yang kini penuh birahi.
“Maaf. Aku tidak bisa melakukan ini.”
Ia berhenti memeluk tubuhku. Aku merapikan pakaian yang menempel di badan dan duduk seutuhnya dalam posisi kaku. Ia berusaha tenang. Mengatur detak jantungnya yang berdegup kencang akibat efek adrenalin yang meninggi. Ia tidak memaki. Bersikap seakan pasrah diri meskipun permainannya tiba-tiba berhenti.
“Ada apa?”
“Tidak bisa. Tidak bisa saja.”
“Apa aku salah melakukan sesuatu?”
“Ini saja sudah cukup salah bagiku. Kamu hanya terbawa perasaanmu dan aku terbawa perasaanku.”
“Baik. Beri aku waktu untuk membuktikan.”
“Aku tidak butuh pembuktian. Tidak ada yang perlu dibuktikan.”
“Setidaknya berikan aku kesempatan.”
Aku tak mau tahu. Lebih baik aku berlalu dari pada diam membisu dan kaku, apalagi dengan tawaran-tawarannya yang bodoh bagiku. Ia meraih tanganku, kembali menatap, lekat. Erg! Tolong jangan mata. Tatap yang lain saja. Aku sungguh tak bisa bicara didepan mata yang begitu menggoda. Tapi, tidak. Aku masih punya logika.
“Sex is a game. Love is name. Some say, you can play the game without the name. But, i can’t play it without the name. I don’t wanna leave the name.”
Aku menarik tanganku, kembali berlalu. Meninggalkannya terdiam membisu di kamar itu. Pantas saja kamu memang tidak pernah menemukan pasangan sejatimu. Kamu memang tidak pernah mengerti itu. Bagimu sex hanya permainan, in-and-out. Sex-mu tanpa rasa. Sex-mu hambar. Tak punya cinta. Sex-mu membuat wanita tak berharga.
Aku muak pada diri sendiri. Aku muak pada malam ini. Aku muak pada "Wanita" . Sex is ‘not’ about in-and-out, baby! Sex is about feel. Feel it with your heart. Play it with your love. Aku tak punya hati. Tak punya cinta. Tak punya perasaan karena dia bukan pasangan. Meskipun pasanganku dingin tak berperasaan, dia tetap pasangan. Walau ia tak peduli kemana aku pergi? Dengan siapa aku malam ini? Apa yang aku lakukan hingga sempat berbirahi tinggi? Ia tetap dan masih seseorang yang memerangkap hati. Uh! Persetan. Lebih baik aku kembali bercinta dengan sepi dan sendiri.